30.12.08

Why We Should Stop on Planning Everything

Nyokap gue adalah orang yang sangat terencana. Kalau ada satu hari istimewa, dari seminggu sebelumnya pasti dia udah menyusun jadwal sedemikian tepatnya. Kalau kita ada di dalam jarak radius 10 meter dari jangkauannya, setiap setengah jam sekali pasti kita dengar lagi rundown acara yang udah tersusun rapi itu, kadang-kadang malah lengkap sama sample quote dari apa yang bakal dia ucapkan nanti.

Gue ngga tau apakah nyokap gue emang udah kaya gitu dari jaman beliau masih muda, tapi kayanya iya sih.

Bokap gue, on the other hand, adalah sesuatu yang tak pernah dia rencanakan.

And it broke her.


Saat gue masih kecil, gue juga suka merencanakan semuanya. Se-mu-a-nya. Jika besok hari istimewa, malamnya gue ngga akan tidur, dengan deg-degan merencanakan setiap menit dari hari istimewa gue. Seringnya dengan tersenyum. Karena dalam rencana, semua selalu berjalan sempurna...

Lalu hidup jadi semakin kejam. Mungkin karena semakin tua, semakin lama kita ada di dunia, dunia menjadi semakin bosan. Seperti balita manja yang sudah bosan pada mainan lamanya, dunia acapkali mencampakkan kita, lalu memungut, hanya untuk mencampakkannya sekali lagi. Dan rencana-rencana mulai berguguran seperti daun-daun pohon jati di kebun belakang. Kering, rapuh, hitam.

When all the plans fall apart, we start to seek for alternatives.


Untuk nyokap gue adalah, lari. Kembali ke rumah orangtuanya, meski dengan ego yang terluka. Dan tekanan darah yang meningkat tinggi.

Sementara untuk gue adalah, berhenti. Berhenti dari kekacauan ini dan memulai menata kepingan rencana-rencana baru. Meski harus sedikit mengotori paru-paru.



Cheers,
-ajeng-

No comments: