Gue awali dengan sebuah inspirasi yang diambil dari blog Paulo Coelho:
Arti dari sebuah cermin adalah untuk menyingkap. Menurut kepercayaan kuno, cermin menyuguhkan sebuah garis penghubung ajaib yang tak terlihat, menyambungkan seseorang dan bayangannya. Karena itulah, cermin dipercaya dapat menangkap jiwa seseorang yang melihatnya. Berangkat dari kepercayaan ini, orang-orang mulai menutupi cermin dengan kain ketika ada yang meninggal, sehingga jiwanya tak terpenjara dalam dunia bayangan. Ini juga alasan mengapa setan dan makhluk halus tak memiliki bayangan di cermin.
Dalam beberapa tradisi bernuansa mistik, seperti pada kaum Sufi, dunia ini sesungguhnya tercipta sebagai refleksi atau bayangan dari Tuhan. Ada sebuah cerita, konon setelah Tuhan menciptakan burung merak, Ia membuat binatang pongah ini melihat cermin. Melihat bayangannya, sang Merak, dalam kekagumannya, mulai berkeringat. Bulir keringat ini jatuh lalu membentuk dunia.
***
Cermin... dibalik seribu macam cerita yang mungkin pernah ada berkaitan dengan cermin, apa yang biasa kita lihat ketika bercermin? Jerawat? Mencocokkan dan merapikan baju?
Harusnya cermin bisa memantulkan kepribadian pemakainya. Menganalisa perilaku dari pantulan senyum atau seringai manusianya. Harusnya tiap-tiap manusia punya sebuah cermin yang bisa memunculkan cap : "sombong" atau "terlalu humble" atau "congkak" tiap selesai berkata. Karena bukankah itu gunanya cermin, untuk menampilkan kebenaran, meski sepahit apapun?
***
Gue pikir, salah satu cara untuk 'bercermin' adalah dengan mengandalkan orang lain. Sahabat, pasangan, orangtua, saudara, apapunlah. Mereka yang mau mengatakan dengan jujur apa yang salah dari diri kita. Apa yang harus dikoreksi.
Asal kita bisa berlapang dada, karena itu berarti kita berkaca pada cermin yang buram.
Cheers,
-ajeng-
No comments:
Post a Comment