12.9.12

Nilai Seorang Jurnalis Ada Pada Apa yang Ditulisnya

Saya berutang pemikiran ini kepada Mas Benny Adrian, seorang jurnalis dari Majalah Angkasa. Kami bertemu saat bersama-sama meliput peristiwa jatuhnya pesawat Sukhoi SuperJet beberapa waktu lalu. Di majalah tentang kerdirgantaraan itu, Mas Benny memegang posisi editorial yang cukup krusial.

"Kok, masih turun ke lapangan, Mas?" tanya saya. Sesuai namanya, lazimnya seorang editor memang menghabiskan kebanyakan waktu di belakang meja, mengedit tulisan reporter di lapangan dan mengurusi masalah keredaksian.

Tak ada orang, jawabnya. Dua dari reporternya adalah korban tewas kecelakaan Sukhoi tadi. Saya pun maklum. Rupanya jawaban tadi berbuntut curhat colongan yang cukup panjang tentang pekerjaan jurnalis dan editor, dan pengalaman dia selama ini. Curhatnya ditutup dengan kalimat yang sedikit banyak menginspirasi posting saya kali ini. Meski Mas Benny juga menyadurnya dari jurnalis lain, tapi kata-kata dia cukup menohok ulu hati saya.

"Pada akhirnya, seorang jurnalis dikenang karena apa yang pernah ditulisnya. Bukan posisi atau jabatan apa yang pernah dia tempati." (Lalu diakhiri dengan, "Begitu, dek Ajeng.." Haha)

Dari obrolan dengan dia, saya lantas menilai (dengan semena-mena): orang ini mencintai pekerjaannya menjadi jurnalis.

***

Kisah cinta saya kepada jurnalistik rasanya cukup berliku. Bukan seperti cinta pada pandangan pertama, tapi cinta yang sudah melalui banyak hal - kekecewaan, keputusasaan, keragu-raguan, dan bolak-baliknya mood - tapi di ujung waktu, saya tak bisa berpaling. Pada akhirnya dalam hati saya selalu tahu, pekerjaan inilah yang ingin saya lakukan sampai batas waktu entah kapan.

Awalnya sederhana, saya suka menulis. Saya suka merangkai kata-kata dan meniupkan 'ruh' kepada tulisan saya. Saat kemudian saya bergabung dengan majalah sekolah dan kampus (di jaman ituu), ada rasa baru muncul: saya suka ketika tulisan saya dicetak di kertas dan dibaca orang banyak.

Lalu ada masa dimana saya bekerja di radio. Ada juga masa saya bekerja di televisi (saat itu saya ingin menjajal produksi drama, sebenarnya). Alih-alih, saya ditempatkan di program infotainment. Tak tahunya, inilah pintu saya kembali ke jurnalistik yang sempat terlupa.

Dengan kalkulasi maha rumit dan bumbu drama sana-sini, Tuhan mengingatkan saya akan cinta lama itu dan mendaratkan saya di sini. Printed media. Me. As a journalist.

Nyaris lima tahun sudah saya di sini. Pengalaman saya menjelajahi dunia jurnalistik selama saya bergabung di Tabloid Nova, tak terhitung banyaknya. Lintas desk, juga lintas job desk.

Lima tahun. Dan semakin saya mendapatkan banyak ilmu, semakin saya merasa tak tahu apa-apa. Betapa sedikitnya saya kenal bidang yang katanya saya cintai ini...

***

Saat ini, saya rindu menulis lagi. Saya rindu menjelajahi hal-hal baru lagi. Kerinduan ini meletup-letup, menyakitkan hati. Melebihi rasa sakit itu, adalah sebuah ambisi: Saya ingin dikenang karena apa yang saya tulis. Saya ingin dinilai dari tulisan-tulisan saya.

Namanya sudah cinta, saya juga tak mau menyerah begitu saja. Apalagi saya sudah bikin janji pada diri sendiri. Pekerjaan inilah yang akan saya lakukan... sampai entah nanti.