15.8.12

pulang

Seorang teman berkata kepada saya, "Mungkin karena kita sudah  dewasa, jadi semua tampak tak istimewa," ketika saya berkeluh-kesah bulan Ramadan tahun ini terlewati dengan terlampau biasa. Akibat pekerjaan, saya jarang berbuka dengan keluarga, lebih-lebih tarawih bersama. Tak pernah, malah. Bahkan, ritual belanja baju bersama di mal-mal yang penuh sesak pun tak kami lakukan. Tak ada waktu dengan deadline pekerjaan yang  bertubi-tubi ini. Alasan yang klasik memang, tapi begitulah adanya.

Hari-hari ini, hari-hari terakhir Ramadan. Dan tahun ini juga tahun pertama saya hendak melewatkan lebaran pertama di kota Jakarta. Hampir tujuh tahun saya tinggal di sini, baru kali ini saya tak pulang untuk salat Ied di kampung, entah itu kampung suami atau kampung saya, Salatiga.

Oh, kami pulang. Nanti, di hari kedua atau ketiga lebaran, ke Salatiga. Kapan saja yang terasa nyaman. Toh, tak ada yang memburu-buru kami untuk cepat sampai. Tak ada yang layak dikejar sehingga kami mesti berjubel di bandara atau terjebak macet panjang bersama para pemudik lain.

Pulang. Betapa kata itu asing untuk saya kini.

Belakangan, kembali ke Salatiga adalah kembali kepada kamar-kamar kosong. Kepada ruang-ruang dengan sudut yang dihiasi sarang laba-laba. Kepada foto-foto di dinding -- yang menunjukkan wajah-wajah tersenyum bahagia dengan alasan entah apa. Semua tampak akrab, namun asing.

Mungkin salah satu alasan mengapa saya enggan memelihara rindu pada kampung halaman adalah itu. Semua terlalu jauh berbeda dari yang bisa saya ingat. Di benak saya, kenangan masa lalu di rumah itu adalah wajah-wajah tertawa dengan color tone sephia. Kenyataanya, hanya ada rumah tak berpenghuni dengan warna hitam putih.

Saya baru tahu bahwa kenangan bisa jadi begitu menyakitkan.

---