22.11.11

Cerita Tentang Hujan di Bulan November

Hujan. Katamu kau mau menembusnya buatku.... "Ayo, kita sama-sama," bilangmu.

"Ingatkah kamu, hujan di bulan Desember dulu?" lanjutmu bersemangat. Tentu aku ingat. Saat itu kita bergulat dengan rasa, bergelut dengan mesra. Bertukar puisi dan memandangi ufuk matahari. Tapi itu dulu saat hidup terasa begitu berbeda.

"Apa yang berbeda? Kita serupa," katamu. Bukan, bukan hanya serupa. Kita adalah kaca. Kita sama. Kau Utara dan aku Utara. Maka seperti dua mata kompas, kita tak bisa bersama. Sekeras apapun berusaha, nasib memang tak menyatukan kita. "Mengapa?" Entah. Aku juga mempertanyakan hal yang sama.

Hujan semakin lebat. "Aku mau menembusnya. Mencari bayanganmu, entah di mana," ujarmu seperti mulai menyerah. Aku tak bisa menahanmu, kan, ya? Seperti kau yang tak mampu menahanku dengan keinginan-keinginanku untuk berjalan ke Selatan. Berharap menemukan mata kompas yang lain.

Mungkin sudah saatmu menuju Selatan juga, mencari kutub yang bisa menarikmu. Namun kau tak suka Selatan, katamu kau hanya mau Utara. "Aku ingin kaca yang baru." Ah, keras kepala!

Bulir air hujan merambati kisi-kisi jendela, melembabkan senja di bulan November. Gerimis pecah saat kau dan aku berlari di bawahnya. Menembus hujan bersama, tapi tak untuk bersama.

"Sedihnya, hujan November kini akan selalu mengingatkanku padamu," ujarku setelah semua berlalu.

"Jangan sedih," katamu akhirnya. Nanti, suatu saat nanti. Hujan tak akan lagi meneteskan duka, meretas luka. Nanti hujan akan memulihkan luka itu.