3.1.11

Tentang Mama - Keping Pertama


Her picture when she was young

Kami berduka. Mama pergi selamanya pada 28 Desember 2010 lalu dengan cara yang paling mengejutkan. Pembuluh darah di pangkal otak mama pecah akibat tensinya naik. Darah tinggi memang salah satu penyakit yang sudah lama diderita mama. Tragisnya, peristiwa itu terjadi di Brebes. Sebuah kota yang terletak kira-kira di pertengahan Jakarta dan Salatiga. Ya, malam itu mama sedang dalam perjalanan kembali ke Salatiga dari rumah kami di Jakarta. Ya, sebelumnya mama sehat wal afiat, bahagia dan ceria.

Mama adalah pusat kehidupan kami, anak-anaknya. Ibaratnya kipas angin, mama adalah poros. Dan kami adalah baling-baling yang berputar, dari dan menuju poros itu. Semua yang kami lakukan adalah untuk mama. Berlebihan? Mungkin iya, bagi sebagian orang. Tapi tidak untuk kami. Dibesarkan oleh mama seorang diri di sebagian besar hidup kami, kami terbiasa berlomba-lomba membuat mama bangga.

Maka, kehilangan yang tiba-tiba ini membuat kami gamang. Lalu, setengah gila kami mengais-ngais memori akan hari-hari terakhir mama yang (syukurnya) beliau lewati bersama kami di Jakarta. Kami mencari-cari pertanda, firasat, atau apapun yang seharusnya mama tunjukkan agar kami siap ditinggalkan. Dan seperti cerita orang-orang yang sudah pernah ditinggal mati, ternyata pertanda-pertanda yang kami cari sudah berserakan dimana-mana (berdasarkan tingkah laku mama sebelum meninggal). Tapi tak sedikitpun kami sadari.

Beberapa bulan terakhir mama memang kerap menyinggung perihal kematian. Beliau bahkan dengan spesifik menyebutkan ingin dimakamkan dimana dan pengajian seperti apa yang harus kami gelar untuk mendoakan beliau nantinya. Mama yang tadinya aktif sebagai bendahara di berbagai kegiatan sosialnya pun sudah mengundurkan diri secara resmi sebelum berpulang, seakan-akan membereskan urusan duniawinya. Pertanda ini dan banyak lagi akhirnya menyadarkan batin kami: mama sudah siap. Maka tugas kami tinggal satu: merelakannya.

Terus terang, awalnya sulit bagi saya untuk merelakan kenyataan bahwa mama saya harus pergi dengan cara itu. Di sebuah kota yang tak punya makna secara personal bagi kami, sendirian, entah di UGD Rumah Sakit atau di dalam bus malam (sampai kini kami tak tahu pasti). Saya tidak rela!

Bayangan saya, kalau suatu hari harus kehilangan mama, adalah mirip dengan adegan dalam film. Dikelilingi keluarga tercinta, yang satu memeluk mama dan yang lain memegang tangannya yang sudah renta. Dengan latar belakang Rumah Sakit dan bunyi 'tuuuuut' panjang salah satu mesinnya, pertanda para dokter sudah berusaha maksimal mempertahankan nyawanya. Atau di rumah, setelah memberikan wasiat kepada anak dan menantunya, mama pamit tidur namun tak bangun-bangun lagi. Itu bayangan saya. Tidak ada yang terwujud.

Sebuah percakapan terakhir dengan mama tiba-tiba terlintas setelah kami menggelar pengajian tujuh harian mama di Salatiga. Saya ingat, saat itu mama sedang menemani saya menidurkan Khalid. Entah kenapa, mama mengamati garis telapak tangannya. Lalu meminta tangan saya dan melakukan hal yang sama.

"Kok garis tangan bisa beda-beda begini, ya, Nduk?" kata mama. Beliau kemudian mengambil tangan Khalid dan meneliti juga garis tangannya.

"Emang bayi garis tangannya udah bisa dibaca, ma? Orang kalo mau tes sidik jari aja minimal usia 2 tahun," samber saya sok tahu.

Jawab mama, "Sudah, dong. Nasib kita, hidup mati kita ini, semua sudah digariskan sama Allah bahkan sebelum kita lahir."


Sesudah mengingat percakapan itu, kok, pikiran saya lebih enteng. Hati saya merelakan mama pergi, bagaimanapun caranya dan dimanapun tempatnya, karena saya percaya Allah sudah berkehendak begitu.

Brebes, sekitar tujuh jam dari Jakarta dan enam jam dari Salatiga. Mama dipanggil Sang Penguasa Hidup tepat di tengah-tengah dua kota yang dicintai mama. Jakarta, kota dimana anak cucunya tinggal, tempat yang ditujunya setiap kali libur mengajar. Dan Salatiga, dimana seluruh hidupnya berjalan.

Saya ikhlas.